JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong pengembangan industri hilir plastik karena memiliki potensi pasar yang besar, baik di dalam maupun luar negeri.
"Potensi dari konsumsi produk plastik di Indonesia masih cukup besar. Apalagi konsumsi nasional per kapita per tahun baru 10 kilogram. Ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang mencapai 40 kilogram per kapita per tahun," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kemenperin Panggah Susanto pada pembukaan Pameran Plastik dan Karet di Jakarta, Rabu (10/10).
Dia lantas mencontohkan permintaan plastik kemasan. Selama ini, konsumsi produk kemasan dari plastik didorong oleh pertumbuhan industri makanan dan minuman hingga mencapai 60 persen. Di Indonesia, industri kemasan plastik tercatat sebanyak 892 unit. Produk kemasan plastik keras (rigid packaging), lunak (flexible packaging), serta produk thermoforming dan extrusion pasarnya tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Saat ini kapasitas terpasang industri kemasan plastik mencapai 2,35 juta ton per tahun. Namun, utilisasinya sebesar 70 persen, sehingga rata-rata produksi mencapai 1,65 juta ton, sedangkan penyerapan tenaga kerjanya sekitar 350.000 orang.
Meskipun struktur industri plastik nasional sudah cukup lengkap atau terintegrasi dari hulu ke hilir, namun masih terdapat sejumlah kendala dan hambatan, di antaranya impor bahan baku plastik, seperti polipropilena yang mencapai 484.000 ton dari total kebutuhan sebesar 976.000 ton per tahun.
Selain itu, industri plastik masih belum didukung industri hulu petrokimia yang memproduksi minyak mentah (naphta) dan kondensat. Industri hulu petrokimia di Indonesia banyak yang tidak memiliki kilang minyak (oil refinery) untuk menghasilkan bahan baku dasar plastik tersebut.
Keterbatasan kegiatan pemrosesan membuat industri hulu petrokimia masih mengimpor bahan baku naphta sebesar 1,6 juta ton dan kondensat sebesar 33 juta barel per tahun. Naphta dan kondensat merupakan bahan dasar untuk bahan baku industri plastik.
"Untuk mengurangi impor bahan baku, pemerintah terus mendorong pengembangan industri pengolah minyak mentah (oil refinery) yang terintegrasi dengan struktur industri dari hulu sampai hilir. Dalam hal ini, pemerintah siap memberikan inseritif, seperti penghapusan pajak (tax holiday), keringanan pajak (tax allowance), atau pembebasan bea masuk untuk barang modal. Selain itu, pemerintah juga akan mendorong pengembangan sumber daya manusia yang dibutuhkan," tutur Panggah.
Di lain pihak, pemerintah juga meminta pelaku usaha industri berbasisi karet untuk meningkatkan produktivitas serta pengembangan produk hilir karet. Dalam hal ini menjadikan produk karet olahan (crumb rubber) sebagai produk-produk bernilai tambah tinggi, seperti ban kendaraan bermotor serta komponen otomotif. Apalagi prospek industri karet cukup baik dan konsumsi karet dunia terus meningkat seiring. pengembangan atau ekspansi dari Eropa dan Amerika Serikat ke China serta India.
"Indonesia sendiri memiliki areal karet paling luas di dunia atau sebesar 3,4 juta hektare. Sebagian besar merupakan perkebunan milik rakyat dengan produksi per tahun mencapai 2,7 juta ton," ujar Panggah.
Indonesia, menurut Panggah, memiliki potensi karet yang lebih besar dibanding Thailand dan Malaysia. Produksi karet di Indonesia, Thailand, dan Malaysia memberikan kontribusi 85 persen dari total produksi dunia. Namun, Indonesia memiliki kesempatan paling besar untuk memimpin pasar produk industri karet di dunia.
sumber : Suara Karya